APPENDIKSITIS
a. Anatomi
Fisiologi
Appendiks
merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang ± 10 cm (4inci), lebar
0,3-0,7 cm yang melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks
memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal.
Appendiks adalah tonjolan kecil mirip jari di dasar sekum atau berbentuk
kantung buntu di bawah tautan antara usus halus dan usus besar di katup
ileosekum. (Sandi, 2013)
Permukaan
eksternal appendiks tampak halus berwarna merah kecokelatan hingga kelabu.
Permukaan dalam atau mukosa appendiks secara umum sama dengan mukosa pada
kolon, berwarna kuning muda, bernodular, dan terdapat komponen limfoid yang
prominen. Jaringan limfoid terdapat di dinding mukosa appendiks. Permukaan
apppendiks dikelilingi peritoneum dan mesoappendiks (mesenter pendek yang
melekat pada usus halus). Mesoappendiks berisi pembuluh darah appendikular dan
persarafan. (Elizabeth & Crowin, 2009)
Appendiks
didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian
bawah arteri ileocoli. Arteri appendiks termasuk end arteri.
Aliran balik darah pada appendiks melalui vena apendiseal cabang dari vena ileocoli
berjalan ke vena mesentrik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal.
Persrafan yang mempersarafi appendiks terdiri dari saraf simpatis dan saraf
parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis.
Sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus.
Appendiks bagian dari organ sistem pencernaan tubuh manusia yang tidak memiliki
fungsi yang jelas. Namun appendiks memiliki fungsi sebagai pelindung terhadap
infeksi mikroorganisme intestinal. Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per
hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi
bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen
intestinal lainnya. (Sandi, 2013)
b. Pengertian
Apendisitis
merupakan suatu kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus
ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi
dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.Sebagai penyakit yang paling
sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan, apendisitis merupakan keadaan
inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis. Apendiks vermiformis yang
disebut pula umbai cacing atau lebih dikenal dengan nama usus buntu, merupakan
kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum. (Nurfaridah,
2015)
Apendisitis
merupakan peradangan pada appendiks, sebuah kantung buntu yang berhubungan
dengan bagian akhir secum yang umumnya disebabkan oleh obstruksi pada lumen
appendiks. (Luxner, 2005)
Jadi
dapat disimpulkan apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendiks
(kantung buntu yang berhubungan dengan akhir secum) yang disebabkan oleh
obstruksi pada lumen appendiks.
c.
Klasifikasi
Apendisitis terbagi menjadi dua
yaitu apendisitis akut dan kronis.
1) apendisitis
akut
apendisitis akut merupakan
obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari
apendiks. Penyebab obstruksi dapat
berupa:
a) Hiperplasi
limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b) Fekalit
c) Benda
asing
d)
Tumor.
Adanya obstruksi
mengakibatkan mucin atau cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari
apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga
menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang
tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi
peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.
Selain
obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ
lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks. (Ardiyansyah, 2012)
2) apendisitis
Kronis
Diagnosis apendisitis kronik baru
dapat ditegakkan jika ditemukan 3 hal yaitu; pertama, pasien memiliki riwayat
nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa
alternative diagndosis lain. Kedua, setelah dilakukan appendiktomi gejala yang
dialami pasien akan hilang dan yang ketiga, secara histopatologik gejalanya
dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif pada dinding
appendiks atau fibrosis pada appendiks, Gejala yang dialami oleh pasien
apendisitis kronis tidak jelas dan progresifnya lambat. Terkadang pasien
mengeluh merasakan nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermiten atau
persisten selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. (Santacroce & Craig,
2006)
d.
Etiologi
Apendisitis
belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:
1) Factor
yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi
karena:
a) Hiperplasia
dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b) Adanya
faekolit dalam lumen appendiks
c) Adanya
benda asing seperti biji-bijian
d) Striktura
lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2) Infeksi
kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3) Laki-laki
lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa).
Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4) Bentuk
:
a) Appendik
yang terlalu panjang
b) Massa
appendiks yang pendek
c) Penonjolan
jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d) Kelainan
katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009)
e.
Patofisiologi
Apendisitis
biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa.
Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena,
edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis akut.
Kemudian aliran arteri terganggu akan
terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah,
akan terjadi apendisitis perforasi.
Apabila Semua proses di atas berjalan
lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga
timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan
apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena
omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis.
Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan
terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007)
f.
Pathway
g. Manifestasi
Klinis
Tanda dan
gejala apendisitis bervariasi tergantung stadiumnya (Mansjoer, 2007) :
1)
Apendisitis
akut (mendadak)
Gejala yang ditimbulkan, demam
tinggi, mual–muntah, nyeri perut kanan bawah, saat berjalan terasa sakit, namun
tidak semua orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga bersifat meriang
atau mual–muntah saja.
2)
Apendisitis
Kronik
Gejala yang
timbul sedikit mirip dengan sakit maaq dimana terjadi nyeri samara (tumpul) di
daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang timbul. Kadang disertai
dengan rasa mual, bahkan muntah, kemudian nyeri tersebut akan pindah ke perut
kanan bawah dengan tanda – tanda yang khas pada apendiks akut nyeri pada titik
penyakit Mc Burney.
h. Komplikasi
Komplikasi
terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat
berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan
dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda
diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan
penanggulangan. (Mansjoer,
2007)
1)
Abses
Abses
merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
2)
Perforasi
Perforasi
adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas
lebih dari 38,5 C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorpho nuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.
3)
Peritononitis
Peritonitis
adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan
elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri
abdomen, demam, dan leukositosis.
i.
Pemeriksaan
Diagnostik
Menurut (Mansjoer, 2007) pemeriksaan diagnostik dibagi menjadi :
1)
Pemeriksaan
Fisik
Pada inspeksi
akan tanpak adanya pembengkakan rongga perut dan dinding perut tempak
mengencang (distensi) pada palpasi di daerah perut kanan bawah, bila ditekan
akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri.
2)
Pemeriksaan
Laboratorium
Pada
pemeriksaan laboratorium darah ditemukan kenaikan sel darah putih (leukosit)
hingga sekitar 10.000–18.000 / mm3
3)
Pemeriksaan
Radiologi
Foto polos
perut dapat memperlihatkan adanya fekalit, namun pemeriksaan ini jarang
membantu dalam menegakkan diagnosa apendisitis. USG cukup membantu dalam
menegakkan diagnosa (71–97 %) terutama pada wanita hamil dan anak–anak. Tingkat
keakuratan yang paling tinggi dengan pemeriksaan CT. Scan (93–98 %).
j.
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan
yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi penanggulangan
konservatif dan operasi.
(Mansjoer, 2007)
1) Penanggulangan
konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada
penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
Apendisitis akut, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit,
serta pemberian antibiotik sistemik.
2) Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan
Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks
(appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks
dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3) Pencegahan
Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen.
Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila
diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau
antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian
antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.
Daftar
Pustaka
Irawan, E. (2014). Jurnal Ilmu keperawatan Vol 2 nomor 1 :
Deteksi Penyakit Apendistis dari Hasil Ultrasonnografi (USG) Menggunakan Metode
Tresholding dan Edge detection (Canny).
Nurfaridah, V. (2015). E- Journal (E. Kep) Vol. 7 No. 2 :
Penurunan Tingkatan Nyeri Post Operasi Appendistis dengan Teknik distraksi
Nafas Ritmik.
Sandi, W. (2013). E- Journal Keperawatan ( E-Kep) Fakultas
Kedokteran UI : Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners Analisis Praktik Klinik
Keperawatan Kesehatan Masyarakat Nyeri Post Operasi Lapartomi Apendiks E.T
Causa Appendisistis Perforasi di RSUP Fatmawati. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Irawan,I. (2014). Jurnal Ilmu Keperawatan Vol. 2
No. 1: Deteksi Penyakit Apendistis dari Hasil
USG dengan Menggunakan Metode Trensholding & Edge Detection (canny).
Tommy dkk. (2017). e-journal (e-kep) Vol. 5 No. 1 : Pengaruh Teknik Relaksasi Benson Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi
Apendisitis di RSUP. prof. DR. R. D. Kandon&
RS TKIII RW Mangsidi Teling Manado.
Santacroce & Craige. (2006). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Ardiyansyah M. (2012). Buku Keperawatan Medikal Bedah untuk Mahasiswa. Yogyakarta: Diva pres.
M
Mansjoer, A. (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius FKUI
Price, Sylvia Anderson. 2005 : 485.
Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses
Penyakit. Edisi 6, Vol 1.
Jakarta : EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010.
NANDA. (2015). Diagnosis
Keperawatan: Definisi& Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC
Dochterman & Bullecheck. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi
5 Bahaasa Indonesia. Yogyakarta:
Micromedia.
Dochterman & Bullecheck. (2016). Nursing Interventions Classification (NOC)
Edisi 6 Bahaasa Indonesia. Yogyakarta:
Micromedia
2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar