Senin, 19 Maret 2018

LAPORAN PENDAHULUAN APPENDIKSITIS


APPENDIKSITIS
a.      Anatomi Fisiologi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang ± 10 cm (4inci), lebar 0,3-0,7 cm yang melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Appendiks memiliki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Appendiks adalah tonjolan kecil mirip jari di dasar sekum atau berbentuk kantung buntu di bawah tautan antara usus halus dan usus besar di katup ileosekum. (Sandi, 2013)
Permukaan eksternal appendiks tampak halus berwarna merah kecokelatan hingga kelabu. Permukaan dalam atau mukosa appendiks secara umum sama dengan mukosa pada kolon, berwarna kuning muda, bernodular, dan terdapat komponen limfoid yang prominen. Jaringan limfoid terdapat di dinding mukosa appendiks. Permukaan apppendiks dikelilingi peritoneum dan mesoappendiks (mesenter pendek yang melekat pada usus halus). Mesoappendiks berisi pembuluh darah appendikular dan persarafan. (Elizabeth & Crowin, 2009)
Appendiks didarahi oleh arteri apendikularis yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocoli. Arteri appendiks termasuk end arteri. Aliran balik darah pada appendiks melalui vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan ke vena mesentrik superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal. Persrafan yang mempersarafi appendiks terdiri dari saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus. Appendiks bagian dari organ sistem pencernaan tubuh manusia yang tidak memiliki fungsi yang jelas. Namun appendiks memiliki fungsi sebagai pelindung terhadap infeksi mikroorganisme intestinal. Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. (Sandi, 2013)

b.      Pengertian
Apendisitis merupakan suatu kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi.Sebagai penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan, apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis. Apendiks vermiformis yang disebut pula umbai cacing atau lebih dikenal dengan nama usus buntu, merupakan kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum. (Nurfaridah, 2015)

Apendisitis merupakan peradangan pada appendiks, sebuah kantung buntu yang berhubungan dengan bagian akhir secum yang umumnya disebabkan oleh obstruksi pada lumen appendiks. (Luxner, 2005)

Jadi dapat disimpulkan apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendiks (kantung buntu yang berhubungan dengan akhir secum) yang disebabkan oleh obstruksi pada lumen appendiks.



c.       Klasifikasi
Apendisitis terbagi menjadi dua yaitu apendisitis akut dan kronis.
1)      apendisitis akut
apendisitis akut merupakan obstruksi lumen yang selanjutnya akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks. Penyebab obstruksi dapat berupa:
a)      Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b)      Fekalit
c)      Benda asing
d)     Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin atau cairan mukosa yang diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra mukosa juga semakin tinggi.
Tekanan yang tinggi akan menyebabkan infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan supuratif yang menghasilkan pus / nanah pada dinding apendiks.
Selain obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks. (Ardiyansyah, 2012)
2)      apendisitis Kronis
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan 3 hal yaitu; pertama, pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternative diagndosis lain. Kedua, setelah dilakukan appendiktomi gejala yang dialami pasien akan hilang dan yang ketiga, secara histopatologik gejalanya dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif pada dinding appendiks atau fibrosis pada appendiks, Gejala yang dialami oleh pasien apendisitis kronis tidak jelas dan progresifnya lambat. Terkadang pasien mengeluh merasakan nyeri pada kuadran kanan bawah yang intermiten atau persisten selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. (Santacroce & Craig, 2006)
d.      Etiologi
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:
1)      Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi ini terjadi karena:
a)      Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b)      Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c)      Adanya benda asing seperti biji-bijian
d)     Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2)      Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan Streptococcus
3)       Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4)      Bentuk :
a)      Appendik yang terlalu panjang
b)      Massa appendiks yang pendek
c)      Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d)     Kelainan katup di pangkal appendiks (Nuzulul, 2009)

e.       Patofisiologi
      Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
      Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
      Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis akut.
      Kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
      Apabila Semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007)
f.       Pathway 

g.      Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala apendisitis bervariasi tergantung stadiumnya (Mansjoer, 2007)  :
1)      Apendisitis akut (mendadak)
Gejala yang ditimbulkan, demam tinggi, mual–muntah, nyeri perut kanan bawah, saat berjalan terasa sakit, namun tidak semua orang akan menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga bersifat meriang atau mual–muntah saja.
2)      Apendisitis Kronik
Gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maaq dimana terjadi nyeri samara (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam yang hilang timbul. Kadang disertai dengan rasa mual, bahkan muntah, kemudian nyeri tersebut akan pindah ke perut kanan bawah dengan tanda – tanda yang khas pada apendiks akut nyeri pada titik penyakit Mc Burney.

h.      Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan Apendisitis. Faktor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. (Mansjoer, 2007)  
1)      Abses
Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.

2)      Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5 C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorpho nuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.

3)      Peritononitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.



i.        Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Mansjoer, 2007)  pemeriksaan diagnostik dibagi menjadi :
1)      Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi akan tanpak adanya pembengkakan rongga perut dan dinding perut tempak mengencang (distensi) pada palpasi di daerah perut kanan bawah, bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri.
2)      Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah ditemukan kenaikan sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000–18.000 / mm3
3)      Pemeriksaan Radiologi
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit, namun pemeriksaan ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosa apendisitis. USG cukup membantu dalam menegakkan diagnosa (71–97 %) terutama pada wanita hamil dan anak–anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi dengan pemeriksaan CT. Scan (93–98 %).
j.        Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operasi. (Mansjoer, 2007)  
1)      Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis akut, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
2)      Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah).
3)      Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi intra-abdomen.

Daftar Pustaka
Irawan, E. (2014). Jurnal Ilmu keperawatan Vol 2 nomor 1 : Deteksi Penyakit Apendistis dari Hasil Ultrasonnografi (USG) Menggunakan Metode Tresholding dan Edge detection (Canny).
Nurfaridah, V. (2015). E- Journal (E. Kep) Vol. 7 No. 2 : Penurunan Tingkatan Nyeri Post Operasi Appendistis dengan Teknik distraksi Nafas Ritmik.
Sandi, W. (2013). E- Journal Keperawatan ( E-Kep) Fakultas Kedokteran UI : Karya Tulis Ilmiah Akhir Ners Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Nyeri Post Operasi Lapartomi Apendiks E.T Causa Appendisistis Perforasi di RSUP Fatmawati. Jakarta: Universitas Indonesia.
Irawan,I. (2014). Jurnal Ilmu Keperawatan Vol. 2  No. 1: Deteksi Penyakit Apendistis dari Hasil USG dengan Menggunakan Metode Trensholding & Edge Detection (canny).
Tommy dkk. (2017). e-journal (e-kep) Vol. 5 No. 1 : Pengaruh Teknik Relaksasi Benson    Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi Apendisitis di RSUP. prof. DR. R. D.    Kandon& RS TKIII RW Mangsidi Teling Manado.
Santacroce & Craige. (2006). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Ardiyansyah M. (2012). Buku Keperawatan Medikal Bedah untuk Mahasiswa. Yogyakarta:          Diva pres.
M Mansjoer, A.  (2007). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Price, Sylvia Anderson. 2005 : 485. Patofisiologi  Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.            Edisi 6, Vol 1. Jakarta : EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2010.
NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi& Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC

Dochterman & Bullecheck. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi 5 Bahaasa Indonesia. Yogyakarta: Micromedia.


Dochterman & Bullecheck. (2016). Nursing Interventions Classification (NOC) Edisi 6 Bahaasa Indonesia. Yogyakarta: Micromedia
2.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar